Membaca Zikir dan Wirid

Pertanyaan: Bagaimanakah posisi zikir dan wirid dalam kehidupan kaum Mu’min? Bagaimana cara menanamkan kebiasaan membaca zikir dan wirid pada diri kita?[1]

Menyibukkan diri dengan dzikir dan wirid, haruslah menjadi suatu kebiasaan yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap mukmin hendaknya meluangkan waktu dua-tiga jam  dalam sehari untuk zikir dan wirid sehingga membuat harinya menjadi lebih bermakna.

Ketika melakukannya pun kita harus berucap, “Ya Allah! Diriku seharusnya bisa melakukan lebih dari itu, tetapi dari semua hal yang telah aku lakukan, aku tak dapat melakukan lebih dari ini. Ampunilah diriku…”

Sebagai contoh, bagi seseorang yang dalam satu hari mengucapkan seratus kali “La haula wa la quwwata illa billah”, seratus kali “Subhanallahi wa bihamdihi subhanallahil adzim”, seratus kali “Astaghfirullah”, seharusnya berpikir seperti ini: 

“Ya Rabb! Diriku berada pada posisi di mana orang-orang memperhatikanku! Sebagai seseorang yang mengambil peranan krusial seperti dayung yang menggerakkan perahu, di mana di satu sisi diriku merupakan tawanan dan di sisi lain aku juga seorang pekerja dalam perahu tersebut, sebenarnya zikir yang kuucapkan sangatlah sedikit. Namun diriku berlindung dalam rahmat-Mu yang tak terbatas, serta dengan panjatan doa yang tanpa henti ‘Adada khalqih wa ridha nafsih wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatih…’, yang artinya ‘Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak bilangan makhluk-Nya, dan sebesar rida diri-Nya, dan seberat 'Arasy-Nya,dan sebanyak hitungan kalimat-Nya…’, diriku akan terus menanti diterimanya zikir yang kubaca tadi. Maka terimalah sedikit amal yang telah kulakukan ini.”

Jika dilihat dari sisi pahala yang akan didapat, membagi bacaan zikir dan wirid kepada beberapa orang merupakan kebiasaan penuh berkah yang perlu dilakukan[2]. Beberapa teman dekatku membagikan sebagian kecil dari doa-doa yang biasa mereka baca sebagai penghargaan untukku. Akupun berusaha untuk terus membaca wirid tersebut dengan harapan semoga doaku terkabul berkat dikumpulkan bersama doa-doa mereka.

Sebenarnya zikir dan wirid yang dibagikan ini perlu terus dibaca, karena ia adalah sebuah amanah yang tidak pantas untuk ditinggalkan. Setiap orang yang terlibat dalam pembagian ini sepenuhnya akan mendapatkan pahala yang sama seolah-olah masing-masing dari mereka telah membacanya sendiri secara keseluruhan.

Ada sesuatu yang terlintas di pikiran saya mengenai hal ini. Saya menganggap ini sebagai peringatan dan petunjuk dari Allah SWT. Sekarang izinkan saya untuk menjelaskannya: Setiap mukmin harus melafalkan zikir dan wirid sesuai dengan peran dan posisinya dalam kehidupan sosial. Misalnya, seseorang yang memikul tanggung jawab pada setiap tahap kehidupan harus lebih peka kepada Tuhannya dalam rasa syukur dan zikir sesuai dengan luas representasi dan area yang dikelolanya. Paling tidak ia harus membaca dzikir dan wirid yang mampu dibaca oleh lima hingga sepuluh orang.

Ya, karena takdir Allah lah sebagian dari kita berada di posisi ini meskipun sebenarnya kita tidak layak mendapatkannya. Untuk itu, setidaknya kita harus membaca zikir dan wirid yang bisa dibaca oleh sepuluh orang. Selain itu, agama dan ketakwaan harus diaplikasikan di kehidupan kita dengan kepekaan sedemikian rupa, sehingga mereka yang memiliki pikiran munafik, suka menghasut, dan menyebarkan fitnah tidak akan mampu bertahan hidup di lingkungan itu.

Selain wirid yang harus dibaca, pelaksanaan salat juga harus dilakukan dengan hati-hati, sehingga kita tidak membiarkan hidup kita kosong. Dengan begitu, atmosfer yang terbentuk akan menjadi tempat di mana para malaikat selalu datang untuk menjemput zikir dan wirid dan kemudian mengantarkannya ke Sidratul Muntaha, di mana doa yang dipanjatkan akan langsung menembus langit. "Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya"[3]

Untuk itu, waktu harus dipergunakan dengan sangat baik dan wirid harian harus dilafazkan sepanjang hari. Supaya terbaca, sejumlah wirid perlu dibagi sedemikian rupa di waktu-waktu berbeda dalam sehari dan dengan pembagian yang seperti itulah pembacaan wirid bisa dituntaskan.

Misalnya seorang mukmin yang penat oleh pekerjaannya sehari-hari dapat menyempatkan dirinya untuk menepi, beristirahat di sebuah ruangan, dan menyibukkan dirinya dengan wirid atau membaca sesuatu yang dapat membuka cakrawala iman dan pemikirannya.

Kebiasaan tersebut layaknya benteng, konservatorium, dan tabir penyelamat bagi seorang mukmin. Ia adalah salah satu cara yang paling sahih lagi jitu untuk berlindung serta bernaung kepada Allah SWT.

Menstandarisasi kehidupan dengan cara ini membutuhkan sedikit ketekunan dan latihan. Misalnya jika bagian-bagian dari Dua Mecmuasi dibaca sekali dalam sehari maka dalam setahun pembacanya akan hafal dengan sendirinya. Dengannya si pembaca dapat meraih kebahagiaan karena terbebas dari beban membawa buku. Seiring berjalannya waktu, membaca zikir dan wirid  akan menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan layaknya kebutuhan manusia akan makan dan minum.

Selain itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Afala akuna abdan shakura” yang artinya “Tidak bolehkah aku membuktikan diri sebagai hamba yang bersyukur”, kita pun menunjukkan sikap yang layak untuk menjadi hamba yang terus bersyukur atas semua anugerah karunia-Nya. Hal ini merupakan persoalan yang sangat penting bagi kesadaran penghambaan kita.

Seseorang harus senantiasa berada pada tegangan tinggi ketika berperang melawan kemalasan. Ia tidak boleh membiarkan kemalasan menemukan jalan dan melumpuhkan jiwanya. Ia  harus terus-menerus mencari hal-hal positif untuk bisa dikerjakan.

Sebagai contoh, saya pernah menemukan cara berikut untuk bangun tahajud setiap malam dan menerapkannya: Saya pergi tidur tanpa mengerjakan witir wajib setelah shalat isya.[4] Akhirnya saya merasa wajib bangun untuk mengerjakan shalat witir di tengah malam. Saya tidak mempunyai pilihan selain untuk bangun di malam hari dan mengerjakan shalat tahajud.

Ya sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa lidah dan kalbu haruslah dibiasakan dengan wirid, zikir, ibadah, serta ketaatan melalui latihan yang terus-menerus.

Saya ingin menyampaikan sebuah contoh terkait hal berikut: Misalnya seseorang yang pergi wajib militer, seiring dengan seringnya dia memanggil orang yang pangkatnya lebih tinggi daripada dirinya dengan sebutan “komandan”, maka saat kembali ke kehidupan sipilnya ia akan memanggil semua orang dengan sebutan “komandan”.

Ya sebagaimana pengulangan pengucapan akan membuat lidah manusia terbiasa pada berbagai hal, maka kalbu dan latifah manusia juga akan terbiasa dengan zikir dan wirid. Dengan latihan terus-menerus rintangan berduri pun dapat dilewati sehingga tujuan pun dapat dicapai.

Disini, ada manfaatnya juga menyampaikan hal berikut: Istighfar, tidak hanya dalam bentuk tobat dan permohonan ampun, tetapi juga dalam segala bentuk tawajuh kepada Tuhan. Dalam keseharian, hidup seseorang terkadang tersendat dalam banyak kebingungan. Terkadang dia tidak sepenuhnya berada di jalan Allah. Terkadang dia menjalani hidup sesuai dengan kesenangan dan keinginan karena dia tidak selalu bisa menjaga kemurnian niatnya.

Oleh karena itu, perasaan dan suasana orang seperti itu dapat tercemar dalam atmosfer yang buruk. Sekarang, seseorang yang tercemar dan terkejut oleh keburukan seperti ini setelah keluar dari jalan yang lurus harus kembali bertawajuh kepada Allah SWT dengan permohonan ampun agar keburukan tidak semakin menjalar.

Oleh karena itu, dalam Risalah Takdir Ustaz Badiuzzaman menjelaskan hal ini sebagai berikut, “Seperti halnya doa dan tawakal dapat memberi kekuatan besar yang mengarahkan kepada kebaikan, maka istighfar dan tobat dapat melumpuhkan keburukan”

Manusia mempunyai kecenderungan dan potensi baik untuk condong kepada kebaikan maupun keburukan. Dengan mendengarkan suara hatinya, manusia harus bertawajuh kepada kebaikan dan terus menerus membentangkan layar dan mengarungi kedalaman hati dengan wirid dan dzikir.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/yol-mulahazalari/evrad-u-ezkar-okuma

[2]  Karena kita akan mendapatkan pahala seakan-akan kita telah membacanya sendiri secara keseluruhan.

[3] Surah Fatir, 35/10

[4] Dalam mazhab Hanafi, mazhab yang dianut penulis, hukum menunaikan salat witir adalah wajib. Wajib di sini berbeda dengan fardhu ain. Wajib dalam mazhab Hanafi di sini mirip dengan sunah muakkadah dalam mazhab syafii, wallahu’alam

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.