Tujuan yang diharapkan dari Pendidikan

Aku beberapa kali bertanya kepada teman-teman kita: “Apakah guru-guru Anda pernah bertanya seperti ini meskipun hanya sekali: ‘Murid-murid! Tujuan kita belajar adalah menjelaskan keindahan-keindahan agama kepada umat manusia yang merupakan anak yatim piatu dari negeri Atlantis yang hilang, di mana pandangan anak-anak ini tertuju pada cakrawala yang menjadi tempat bagi kebenaran muncul; mereka adalah anak-anak yang terus berada dalam kebingungan tiada akhir.”[1]  

 

Demi Allah, katakanlah "ya", jawablah dengan tegas!; katakanlah "ya", karena dengan demikian saya juga akan merasa lega dan dada ini akan terasa lapang. Apakah mereka pernah menyebut meski hanya sekali pernyataan, "Kami akan mempelajari agama kami demi Allah semata, menjauhi semua pertikaian dan tujuan politik. Kami akan mempelajari agama tanpa pamrih duniawi, jika perlu, kami akan memecahkan batu dan memakan roti dengan keringat di kening kami[2]; Apa pun kondisinya, kami tetap akan memperkenalkan-Nya dan membawa nama Sayidina Muhammad sebagai suri teladan kepada kalbu-kalbu yang membutuhkan! Tujuan penciptaan kita adalah untuk mengenal Allah ta’ala dan membuat orang lain mengenal dan mencintai-Nya. Inilah hikmah dari keberadaan kita. Inilah tujuan penciptaan kita; jika kita tidak melakukan hal ini, maka tidak ada gunanya berdiri dan hidup di muka bumi. Jika tidak melakukannya, tak ada artinya menghirup dan menghembuskan nafas. Tanpanya hidup menjadi sebuah kesia-siaan; Jika kalian setuju, mari kita berlepas diri dari semua omong kosong lainnya.”

 

Saya berharap bisa mendapatkan jawaban positif saat mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini! Saya berharap bisa mendengar suara jawaban: "Ya, guru kami telah mengajarkannya!"

 

Jika api telah padam bahkan di dalam perapian yang menjadi sumber dari kewajiban amar makruf nahi munkar, itu berarti urusan ini telah benar-benar mengalami kemacetan. Terlebih lagi, di balik sekolah-sekolah, asrama-asrama, dan rumah-rumah itu terdapat donasi besar dari para dermawan. Dermawan-dermawan mulia dan murah hati ini berkeliling dari rumah ke rumah dan dari pabrik ke pabrik. Mereka mengemis untuk mendapatkan sejumput uang demi bisa membangun sekolah dan memberi beasiswa. Mereka tidak pernah ketinggalan dalam melakukan pengorbanan.   

 

Sekarang, demi menghadapi ancaman serius bangsa dalam urusan ini, setidaknya para siswa dan guru di sana seharusnya berkata, "Orang-orang ini tidak mendidik kita agar kita menjadi orang yang hanya memikirkan besaran gaji! Mereka tidak mendidik kita agar kita hanya memikirkan karir dan tertinggal dalam hal nilai dan kemuliaan! Mereka mendidik kami untuk membangun kembali monumen agama yang telah hancur!" Seharusnya mereka berkata dan bertindak yang selaras dengan jawaban seruan tersebut.

 

Saya tidak akan mengatakan, "Ini tidak terjadi, mereka tidak mengatakan apa yang seharusnya mereka katakan dan mereka tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan." Pemikiran seperti itu akan menjadi kesalahpahaman. Siapa yang dapat mengetahui dalam institusi yang penuh berkah itu terdapat berapa banyak kesatria, kalbu yang merintih dan menderita, serta laskar yang cinta akan li ila-i kalimatullah. Namun, secara umum saya tidak bisa mengatakan bahwasanya semangat tablig dan tamsil telah direpresentasikan dengan kapasitas yang layak. Saya tidak bisa mengatakan bahwasanya semangat tersebut telah bertransformasi menjadi aksi nyata.  

 

Masyarakat Erzurum memiliki sebuah pepatah: “Tongkat sudah diletakkan di atas tali kekang”. Apabila seorang tukang giling gabah telah meletakkan tongkatnya di atas mesin rice milling[3], itu artinya: “Saya sudah pensiun. Saya tidak akan melanjutkan pekerjaan ini.” Demikianlah, pada hari ini tugas mengajak kepada kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran atau dengan  kata lain tugas amar makruf nahi munkar ibarat tongkat yang telah diletakkan di atas tali kekang atau telah sepenuhnya berhenti. Jika demikian, tugas ini telah tiba di fase mendesak. Pada masa di mana masih ada banyak orang yang mengerjakannya sekalipun Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi menyebut status tugas ini sebagai farz der farz, kewajiban di atas kewajiban. Oleh karena itu, tugas tersebut pada hari ini juga memiliki tingkat urgensi yang sangat genting dan harus diprioritaskan.  

 

Amar makruf nahi munkar, seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, memiliki makna menjelaskan kebaikan, kebenaran, perintah-perintah Allah ta’ala, serta mencegah manusia dari yang hal yang munkar, kejahatan, dan keburukan. Jika rukun ini tidak terpenuhi, maka sebuah pilar yang menopang agama akan hancur. Supaya agama tegak, dua prinsip berikut harus selalu dijaga eksistensinya di tengah masyarakat. Prinsip pertama adalah amar makruf nahi munkar. Prinsip kedua adalah raqaiq (kelembutan hati). Mewujudkan raqaiq artinya membahas topik-topik yang dapat melembutkan hati, membuat mata menjadi berkaca-kaca, serta mengulas topik-topik yang berkaitan dengan kebangkitan setelah kematian, termasuk hubungan antara manusia dengan Allah ta’ala, serta merefleksikan hidup zuhud. 

 

Para salafus saleh senantiasa sibuk dengan raqaiq. Mereka tidak merasa perlu untuk mendorong praktik amar makruf nahi munkar karena mereka sudah berada dalam tegangan metafisika yang serius di dalam kerangka amar makruf nahi munkar. 

 

Apabila Anda membaca biografi para rijalul hadis, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadis, Anda akan menemukan orang-orang yang berkomitmen penuh kepada li ila-i kalimatullah. Sebagai contoh adalah Abdurrahman bin Mulla Abu Utsman an-Nahdi. Dia memiliki sedikit harta benda sehingga dia bisa membawa semua hartanya di atas punggungnya... Dia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Ia mendirikan pergola di suatu tempat dan menyibukkan dirinya dengan ibadah, membaca wirid, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, meriwayatkan hadis-hadis, dan melaksanakan tugas untuk memberikan pencerahan kepada manusia. Ketika sedang sibuk dengan perbuatan-perbuatan saleh ini, sebuah perintah datang, ia diberitahu bahwa ia perlu melakukan perjalanan ke tempat ini dan itu. Segera setelah menyelesaikan misinya, ia berangkat lagi ke kota lain; Ia mendirikan tempat tinggalnya dan menunaikan amanah li-ila-i kalimatullah sekali lagi.

 

[1]  Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi-1/egitimden-beklenen-gaye 

 

[2]  Maksudnya, sumber rezekinya adalah dengan menjadi buruh pemecah batu, bukan dari kepandaian yang dimiliki karena telah bertekad bahwasanya tujuannya mempelajari agama adalah meraih rida Allah semata. 

ric

[3]  Mesin untuk memisahkan kulit dari gabah supaya dihasilkan beras.

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.